Daun sang, tanaman unik serbaguna yang semakin langka
Daun sang.
Tanaman unik berdaun raksasa dari Sumatra bukan hanya Raflesia arnoldii. Pulau di Indonesia Barat tersebut juga punya satu lagi tanaman yang tak kalah unik, daun sang.
Daun sang dikenal sebagai flora endemik Sumatra dengan sejumlah keunikan. Meski potensinya belum banyak tergali, tumbuhan ini diketahui bermanfaat. Sayangnya, status daun sang saat ini termasuk tumbuhan terlindungi yang mulai langka.
Untuk itu, keberadaan daun sang perlu diketahui dan dikenali agar dapat dilestarikan.
Keunikan utama daun sang terlihat dari cirinya. Daunnya berukuran raksasa sepanjang nyaris 6 meter dengan lebar mencapai satu meter. Bentuknya melebar di tengah serta meruncing di bagian pangkal dan ujung.
Karena ukurannya tersebut, daun itu juga disebut sebagai daun payung atau daun raksasa.
Bila dilihat dari jauh, daun sang seolah hanya terdiri dari daun tanpa penopang batang. Ini karena ukuran batangnya yang pendek sering tersembunyi dalam tanah, sehingga hanya daunnya saja yang tampak menyembul ke permukaan.
Tampilannya pun cukup memikat dengan warna hijau berkilat mirip-mirip daun kelapa, dan keseluruhan tanaman serupa berlian. Permukaan daunnya bergurat dan tepiannya bergerigi. Tak heran tanaman ini juga dijadikan sebagai tanaman hias.
Selain itu, daunnya juga tebal dan kuat. Karenanya orang sering memanfaatkan daun sang layaknya payung untuk melindungi dari hujan.
Bahkan, Daun Sang sejak dulu juga dimanfaatkan masyarakat di sekitarnya untuk membuat atap , pintu, hingga dinding rumah serta pondokan di ladang.
Seorang narablog pernah menceritakan pengalaman unik melihat seluruh proses pembuatan rumah berbahan daun sang. Menurutnya, pengolahan daun sang sederhana dan tidak sulit.
Yakni dengan memotong helai daun segar mulai dari pangkal agar tidak terbelah, lalu dijemur sekitar 5 hari hingga mengering. Daun yang mengering kemudian disusun membentuk papan. Papan lalu diikat ke rangka kayu untuk dijadikan dinding, atau dianyam menjadi atap.
Cara tersebut dinilai efektif mengingat kekuatan daun sang tahan lama hingga bertahun-tahun, pun ramah lingkungan.
Ditemukan profesor Belanda
Daun sang ditemukan di pedalaman Sumatra pada awal abad ke-19 oleh seorang profesor botani asal Belanda bernama Teijsman atau Elias Teymann Johannes. Sesuai nama penemunya, daun sang diberi nama latin Johannestijsmania altifrons.
Tanaman ini merupakan salah satu dari empat spesies anggota genus Johannestijsmania, sejenis pinang-pinangan atau palem (Arecaceae) yang tumbuh hanya di kawasan hutan Asia Tenggara.
Daun sang memiliki banyak nama. Di Indonesia disebut juga sebagai daun payung, sang gajah, sang minyak (Sumatra Utara), dan daun salo (Riau). Di Malaysia dikenal dengan nama Sal, di Thailand dinamai Bang Soon, dan di Inggris disebut Joey Palm, Diamond Joey Palm, atau Umbrella Leaf Palm.
Secara luas, daun sang bisa dtemukan pada ketinggian 85-175 meter di atas permukaan laut. Umumnya terdapat di lereng bukit daerah tropis dengan kemiringan 45 derajat, hingga lereng curam dengan kemiringan lebih dari 60 derajat.
Sifat uniknya yang tidak tahan panas juga membuat tanaman ini hanya tumbuh di tempat-tempat yang tidak terpapar sinar matahari langsung dan umum ditemukan di bawah naungan pohon lain. Biasanya pohon-pohon rindang, dengan berkelompok membentuk rumpun.
Di Indonesia, Daun Sang diklaim sebagai flora endemik Sumatra karena memiliki penyebaran yang sangat terbatas di dua tempat. Kedua tempat tersebut adalah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang berada di Provinsi Riau dan Jambi, serta Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Pada kedua lokasi itu pun tanaman ini tak tumbuh di sembarang tempat.
Daun sang di kawasan TNBT berada di Desa Alim, Desa Sanglap, Hulu Sungai Metah dan Hulu Sungai Malau. Sementara di kawasan TNGL, hanya terdapat di daerah Aras Napal, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang.
Untuk penyebaran di negara lain, daun sang ditemukan juga di Thailand Selatan dan Malaysia. Di Malaysia Barat, bisa dijumpai di Kelantan dan Johor Bahru. Di Malaysia Timur, bisa didapati di Sarawak.
Dulunya, sebelum tahun 1940, daun sang tersebar di Aceh, Sumatra Timur, Kalimantan Timur, juga Sumatra Barat.
Namun, populasinya kemudian berkurang--bahkan punah di beberapa daerah--karena pembudidayaannya tergolong sulit. Tanaman ini menuntut kondisi hutan yang baik dan memiliki kriteria tertentu untuk tumbuh dan berkembang.
Terlebih dengan adanya pemanfaatan daun yang berlebihan, juga pembukaan lahan, penebangan liar, dan pembakaran hutan yang makin marak, semakin merusak pohon-pohon rindang yang menaungi daun sang.


Komentar
Posting Komentar